Bapak yang Abu-abu
Bapak terlihat lebih muda, raut wajahnya seperti saat aku masih duduk di bangku SMP. Kali ini ia memakai baju polo pink yang dimasukkan rapi dalam celana jeansnya. Tatanan rambut yang rapi membuat Bapak terlihat segar. Ia sedang sibuk menata karung rosok di atas sepedanya.
Rumah itu masih berlantaikan tanah, pot-pot bunga bergelantungan. Jendela-jendela panjang yang setiap lebaran aku lap masih menempel erat di tembok keramik berwarna hijau. Ada taman bunga matahari di depannya. Semua ditata Ibu dengan rapi, biasanya Bapak bagian menyiraminya.
Aku melangkah ragu mendekati rumah. Saat itu aku mengenakan dress putih selutut dengan memakai sepatu high heels. Rambut panjangku kuurai, angin segar pedesaan meniup-niup rambutku. Aku sempat menghentikan langkahku, berpikir untuk memutar arah.
"Nduk! " Bapak melihatku. Mataku berkaca-kaca melihat senyumannya. Tubuhku mematung, ia berjalan menghampiriku.
"Sudah pulang nduk? ayo makan! Ibu memasak sambal teri kesukaanmu”
Ibu, kakak dan adik sudah duduk di meja makan. Rambut Ibu hampir penuh uban, matanya sembab seperti habis menangis semalaman. Kakak sedang sibuk menyuapi anaknya. Adik pertamaku sedang sibuk mengoperasikan komputer kasir sedangkan adik bungsuku sibuk menghafal Al Qur'an.
"Makan yang banyak, calon pengantin jangan sampai sakit"
Aku sudah tidak tahan, aku berteriak sekeras mungkin sambil menangis. Ibu dan saudara-saudaraku hanya menoleh sebentar lalu melanjutkan kegiatan masing². Bapak masih sibuk menata makanan di piringku. Aku berteriak seraya membanting piring di hadapanku, namun Bapak menata piringku lagi dengan masih tersenyum. Dia tidak mendengarku ternyata. Aku berdiri menghampiri Bapak, aku pegang pundaknya lalu berteriak tepat di depan wajahnya. Dia tetap tidak mendengarku. Aku ingin berkata namun lidahku kaku, aku hanya bisa berteriak dan menangis.
Tiba-tiba saudara-saudaraku berteriak, mereka memegangi kaki Ibu yang bergelantungan. Ibu memilih mengakhiri hidupnya. Bapak melepas tali di leher Ibu.
”Seorang istri tidak boleh sakit, makanlah" Bapak memasukkan sesuap nasi ke mulut Ibu. Tubuh dan baju Bapak berubah abu-abu.
Aku berlari keluar rumah, tidak ada yang bisa kulihat. Semua gelap, aku berupaya lari namun tidak ada cahaya sama sekali. Aku tidak bisa melihat ujung jalan, bagaimana bisa aku sampai pada tempat tujuan. Rasanya semakin sesak, apa ini rasanya mau mati?
"Yang, sayang bangun.. kamu kenapa? ”Aku memeluk kekasihku.
"Mimpi Bapak? " aku mengangguk.
"Ihklaskan ya, maafkan beliau. . "
"Kasihan Ibu.. "
"Telfon Ibu ya habis ini.. "
"Aku rindu Bapak yang dulu.. aku rindu saat dia membelikanku susu cokelat"
"Kamu mau kubelikan susu cokelat? "
"Tolong aku, rumahku hancur"
"Iya pasti kutolong, mari kita bangun rumah baru ya..Kamu berhak mendapatkan tempat pulang"
**
Komentar