BITA

BITA

Sore ini Bita menggunakan waktu senggangnya untuk mengelilingi jalanan di dekat rumah dengan menggunakan scooter manual kesayangannya itu. Ia memilih menggunakan scooter kuningnya daripada sepeda kuningnya kemanapun pergi, dari bermain ke rumah teman sekolah, berangkat ke sekolah, pulang sekolah, mengelilingi kebun teh, terjun menuruni jalan depan rumahnya, pergi membeli susu di Pak Jo, namun tidak untuk  pergi menyusul neneknya di langit. Bita sangat menyayangi neneknya, scooter kesayangannya merupakan hadiah dari nenek ketika Bita mau untuk disekolahkan di suatu sekolah formal. Hampir dua tahun Bita hanya belajar otodidak bersama nenek dan mamahnya di desa. Bita tidak pernah mau sekolah semenjak ia ditinggal teman sebangkunya pergi untuk selamanya saat  menginjak sekolah Taman Kanak. Masih sangat jelas Bita mengingat kejadian mengerikan itu. Saat itu teman baiknya sedang fokus menggambar. Bita mengendap-endap dari arah belakang, dengan sigap Bita membungkam mulut dan hidung Ana dengan sapu tangannya. Ana meronta-ronta dan Bita terus membungkamnya semakin kencang sembari mendekap tubuh Ana yang lebih kecil dari ukuran tubuhnya, ketika itu guru belum datang seusai jam istirahat selesai, sedangkan murid lain sedang sibuk bermain di dalam kelas. Berlarian kesana kemari, lempar melempar bola kertas, tarik menarik buku bacaan bergambar. Kelas yang ramai dengan kegaduhan masing-masing.
” Kamu dibius Ana, ayo pura-pura pingsan!!” Biasanya Bita dan Ana bermain polisi-polisian, mereka berdua bergantian menjadi rampok dan polisi. Kali ini Bita memutuskan untuk menjadi penculik dan Ana dijadikannya korban. Ana masih terus meronta-ronta, cukup lama untuk menahan nafas. Bita menyeret Ana yang tubuhnya lebih kecil dari tubuhnya ke belakang kelas, ia suka melihat Ana meronta-ronta saat diseret, persis film yang ditontonnya. Dia berfikir acting Ana bagus juga. Bita semakin bersemangat untuk berackting menjadi penjahat dan beberapa menit kemudian Ana tidak lagi meronta.
“Ayo anak-anak, duduk di bangku masing-masing ya..” Ibu guru datang. Bita begegas membangunkan Ana untuk segera duduk di bangku mereka, namun Ana tak segera bangun.
“ Ana bangun!! Penjahat-penjahatnnya udah selesai, bu guru datang.. Ayo bangun An!!” Bita menggoyang-goyangkan tubuh Ana yang telah lunglai.
“ Bita, Ana! Ayo duduk..” Ibu Guru berjalan ke arah belakang kelas, menghampiri Ana dan Bita.
“ Bita.. topengnya dilepas dulu ya, kita belajar lagi sekarang..Ana bangun..Ayo udah mainnya” Ibu Guru berjongkok, memegang lengan Ana yang telah dingin.
“Ana tidak mau bangun dari tadi Bu..” Suara Bita mulai bergetar. Ibu Guru memegang pergelangan tangan Ana dan sontak ia terkejut anak didiknya meninggal dunia.
“Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun..Ana!!” Suara Ibu guru memekik, seluruh murid menyerbu ke belakang kelas. Bita tahu, kalimat itu adalah kalimat yang diucapkan untuk seseorang yang meninggal dunia dan Bita tahu bahwa dia yang menyebabkan Ana teman sebangkunya meninggal. Hari itu adalah hari terburuk Bita, tenggorokannya tercekat dengan mata yang berkaca-kaca.
“Pembunuh!! Bocah pembunuh!! Anak iblis!! Kamu membunuh anakku!!” Mamah Ana berteriak histeris setelah mendengar runtutan kronologi kematian anaknya dari Ibu guru, makiannya menggema di ruangan UKS dan seluruh sudut sekolah, membuat angkutan-angkutan seakan berhenti di depan sekolahan untuk membawa berita kepada penumpang-penumpangnya bahwa BITA ADALAH PEMBUNUH. Seluruh pasang mata di sekolahan mengumpat dirinya, tidak ada yang mau memeluknya, seakan Bita mempnyai tubuh layaknya hewan landak yang berduri itu.
Kedua orang tuanya datang terlambat, setelah kata “pembunuh” dihantamkan pada pundaknya dan ditelannya bulat-bulat pada siang yang terik kala itu. Bita tidak menangis, jiwanya membisu. Tubuhnya yang masih mungil masih sanggup berdiri tegak.
“Maafkan Bita tante..” ucapnya untuk kesekian kalianya, tak berani mendongakkan wajah. Kedua orang tuanya akhirnya tiba juga, meminta maaf sebanyak-banyaknya, walaupun dibalas dengan umpatan-umpatan kedua orang tua Ana. Ambulans datang, mengakhiri bolak-balik umpatan dan permohonan maaf di hadapan seorang anak perempuan.
            Sesampainya di rumah, mamah Bita mengunci Bita ke dalam kamar mandi yang memang sering digunakan untuk menghukumnya. Kamar mandi bekas tempat mandi pembantu itu terletak di ujung belakang rumah. Terdengar percekcokan antara mamah dan papah Bita, perdebatan siapa yang tidak becus mendidik anak. Sekali lagi tidak ada yang memeluk Bita.
“Ikan. . kamu tidak keasinan kena air mata sama ingusku kan?” Air mata Bita terus menetes seperti gerimis di bak mandi yang berisikan ikan peliharaannya. Semenjak itu ia tidak mau sekolah lagi, kedua orang tuanya memutuskan untuk pindah ke desa. Ibu dari mamah Bita meminta mereka pindah ke rumahnya, menyudahi hiruk pikuk Ibu kota.
“Bita sekolah di desa nenek aja ya..”
Mamah Bita mulai menyadari sikapnya saat peristiwa itu, membuat anak semata wayangnya berubah drastis. Anak yang selalu periang walaupun sering dihukum di kamar mandi berubah menjadi amat pendiam. Mamah dan Papah Bita benar-benar kehilangan jiwa anaknya, sebuah kesadaran yang amat terlambat. Dua tahun Bita tidak mau sekolah, dengan bagaimanapun bujuk rayu, ia tetap tidak mau sekolah. Selama dua tahun Bita mengisi hari-harinya dengan bercocok tanam dan berternak bersama neneknya. Mamah Bita memutuskan untuk berhenti bekerja, ia ingin menebus hutang-hutang waktu kepada anaknya. Bita tidak lagi berulah kepada mamahnya, ia tidak tertarik untuk mencari perhatian mamahnya kembali. Ia tidak pernah sadar jika ia telah kecewa kepada kedua orang tuanya, yang Bita rasakan ia tidak pernah merasa aman bersama orang tuanya. Keberadaan neneknya yang hangat membuatnya menemukan rumah baru, nenek tahu cara mendeketi cucunya, walaupun prosesnya sangat lambat, pada akhirnya Bita mau membuka diri untuk belajar di sekolah formal.
“Sekolahnya bagus kan?”
“Iya nek, banyak bunga warna warni, ada pohon apel, ada pohon wortel, Bita suka nek!!”
“Bita juga peluk mamah dong, mamah kan yang cariin Bita sekolahan. .” Bita merenggangkan pelukannya pada neneknya, ia menatap mamahnya yang mencoba tersenyum di atas keiriannya melihat putrinya lebih dekat dengan ibunya.
“ Mamah juga mau dipeluk Bita dong..” Mamah Bita mengulurkan tangannya, kemudian Bita memeluknya. Mamah Bita terisak, sekian lama ia tak merasakan pelukan sehangat ini.
            Sepulang sekolah hari pertamanya, Bita medapatkan kejutan dari nenek. Sebuah scooter manual berwarna kuning berdiri tegak di halaman rumah.
“Scooter baru buat Bita!!” Sambut nenek.
“Wah bagus sekali!! Ini buat Bita nek?” Bita mengayunkan kedua tangan neneknya dengan mata yang berbinar-binar. “Bita kan belum ulang tahun nek?”
“Ini bukan hadiah ulang tahun sayang…ini hadiah buat cucu nenek yang mau sekolah lagi!!”
“Terimakasih ya Nek!! Bita suka sekali scoter ini!!”
“Terimakasih sama mamah juga dong, ini kan hadiah dari nenek dan mamah…”
“Terimakasih mah!! Bita sayang sama mamah dan nenek.. “ Bita menghambur memeluk nenek dan mamahnya, lalu dia langsung menaiki scooternya tanpa mengganti seragam terlebih dahulu.
“Anakmu suka dengan alam, terus buat Bita nyaman denganmu dan suamimu ya..”
“Iya Bu, aku sangat menyesal..”
            Semenjak itu Bita menjadikan scooternya menjadi alat tranportasi kemanapun ia pergi. Ia selalu bangun pukul 05.00 WIB untuk bersiap sekolah, Bita tahu perjalanan menuju sekolahnya akan lebih jauh jika ditempuh menggunakan scooter manual dan dia tidak boleh terlambat. Awalnya mamah dan neneknya khawatir, terlebih dengan jalanan yang menurun dan berkelok itu. Ketika pulang dari sekolah akan sering menemui jalan menanjak, namun anak kelas 1 SD itu mampu meyakinkan nenek dan mamahnya dengan perjalanannya yang selalu selamat. Memang tidak terlalu jauh, namun cukup menguras tenaga jika memakai scooter untuk seusia Bita. Pagi itu dengan bangga Bita membawa dua botol susu di tangannya, ia menantang dirinya untuk membawa dua botol susu itu tanpa menggunakan keranjang yang biasa dipasang di depan stang scooternya. Keranjangnya rusak akibat jatuh di turunan  depan rumah dua minggu lalu, walaupun begitu ia tidak pernah membiarkan kakinya berlama-lama tidak mengayuh scooter.
“Nenek!! Bita bisa bawa susu pakai scooter dong!!” Bita menghampiri neneknya yang sedang duduk di kursi goyang kesayangannya di samping rumah. “Nek.. kok tidur di sini? Dingin lho..Nek bangun..” Bita menggoyang-goyangkan lengan neneknya, namun nenek tak sedikitpun membuka matany. Biasanya nenek tidak susah untuk dibangunkan walaupun tidak disentuh dan biasanya nenek tidak tidur lagi di sepagi ini.
“Mamah!! Mamah!!” Bita tersungkur kita neneknya sama sekali tak bangun walaupun digoyang-goyangkan tubuhnya.
“Sayang!! “ Mamah Bita kaget melihat putrinya bersimpuh di lantai dengan air mata yang mengalir deras.
“Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun Ibuuuu!!” Bita masih ingat, bahwa kalimat itu untuk orang yang meninggal. Bita kemudian  lari ke halaman, dikemudikan scooternya dengan kayuhan kaki yang sangat kencang. Dia meluncur menuju kolam ikan pinggir perkebunan apel neneknya. Kamar mandi rumah hanya satu, jadi Bita tidak diperbolehkan memelihara ikan di bak mandi.
“Ikan.. kamu tidak keasinanan kena air mata sama ingusku kan?” Kebiasaan anak perempuan berumur 8 tahun ini memang sedikit unik, selalu memilih untuk menangis didepan ikan-ikannya. Bita terlanjur nyaman seperti itu semenjak ia diam-diam memelihara ikan di kamar mandi khusus untuk menghukumnya, keberadaan ikan di bak mandinya mampu membuat Bita tidak merasa sendirian ketika sedih. Bita menangis sejadi-jadinya, letak kolam itu dipilihnya untuk tidak diketahui orang banyak. Terbebaslah ia untuk tumpah.
---------------------------------------8888888---------------------------------------------------------------
            Setelah cukup lelah Bita menikmati sorenya, ia berhenti di sebuah pohon apel milik neneknya. Bita memanjat pohon dengan cekatan, memilih buah apel yang paling manis. Sembari menatap langit yang mulai temaram, mulutnya terus mengunyah dengan lahap. Terdengar dari kejauhan suara anak-anak mengarah padanya, ternyata teman sekolah Bita. Ya, Bita tetap melanjutkan sekolahnya walaupun neneknya telah meninggal, setelah segala penjelasan mamah dan papahnya bahwa itu bukan kesalahannya.
“Ranti!Doni!Vera! Haikal!” Panggil Bita dari atas pohon, membuat keempat temannya bingung mencari-cari sumber suara itu. “Aku disini!!” Bita melambaikan tangannya.
“Hai Bita!! Kamu sedang apa disana?!!” Teriak Vera.
“Tangkap!!” Bita melempari beberapa apel pada keempat temannya di bawah,lalu turun begabung bersama mereka.
“Wah, kamu berani loncat dari atas pohon?” Kagum Haikal.
“Iya dong!! Kalian dari mana?”
“Kita habis foto-foto pakai tablet baru punyaku!!” Jawab Ranti sombong.
“Ayo kita foto lagi Ran!!” Ajak Doni.
“Tidak, aku mau main game. .” Ranti duduk bersandar di bawah pohon. Vera, Doni,, Haikal semakin antusias dengan kecanggihan benda baru milik Ranti. Tentunya anak kelas 2 SD mempunyai rasa penasaran yang tinggi. Keempat teman Bita selisih umur 2 tahun dengannya, namun tidak membuat Bita kesusahan untuk beradaptasi. Bita pun penasaran dengan benda yang masih asing di matanya, alat elektonik yang sering ia lihat hanyalah hp dan radio. Semenjak peristiwa itu, orang tua Bita dan nenek memutuskan untuk tidak mengizinkan Bita menonton televisi.
“Ran, kita lihat kartun-kartun aja..” Pinta Doni.
“Bagaimana caranya?”
“Pencet ini!!” Doni spontan memencet gambar Youtube, yang pernah ia lihat di tablet kakaknya yang pelit itu.
“Waaaahhh.. kayak di tv ya..” celoteh Ranti.
“Tulis disini, kalian mau cari apa?” Doni menawarkan, ia masih ingat bagaimana kakaknya mengakses aplikasi ini.
“ Superhero!!” Haikal begitu semangat dan semua menyetujuinya. Kecepatan internet yang terpasang di tablet Ranti ternyata cukup cepat. Anak-anak itu terfokus pada video yang sedang berputar, sampai adzan mahgrib berkumandang mereka baru tersadar waktu bermain telah selesai.
“Besok kita nonton lagi ya!!” Ranti menyudahi, kemudian masing-masing pulang.
            Keesokan harinya di sekolah, ternyata Ranti membawa tabletnya untuk dipamerkan teman-temannya. Benda itu adalah hadiah ulang tahun dari mamahnya, dengan bangga ia memamerkan game-game yang ada dan mengajak teman-temannya foto bersama.
“Ranti, ayo nonton superhero lagi!!” Ajak Haikal. Kemudian seluruh murid mengepung Ranti agar bisa ikut menonton, tak terkecuali Bita.
“Main superhero-superheroan yuk!!” Ajak Ranti sangat antusias.”yang boleh ikut, cuma aku, Haikal, Doni, Vera, dan Bita!!” Sosok Ranti di kelas 2 ini bisa dibilang merupakan murid yang ditakuti murid-murid lain karena ia adalah ketua kelas yang galak. Lalu Ranti, Bita, Vera, Doni, Haikal membagi menjadi 2 kelompok. Pahlawannya Bita dan Ranti, selebihya adalah musuh, mereka berlarian saling mengejar.
“Bita pakai ini!” Ranti memasangkan taplak meja melingkar di leher Bita, sedangkan Ranti memakai jaketnya.
“Kita punya sayap!!” Teriak Bita semakin antusias dengan permainan ini. Aksi kejar-kejaran semakin seru, Bita menaiki balkon lantai 2 untuk mencari musuh-musuhnya. Baru sekali itu, Bita naik ke balkon lantai 2. Langitnya terlihat cantik siang itu, biru dan diselingi awan-awan putih. Dia teringat neneknya, kata mamah, neneknya sedang bahagia di rumah barunya bersama Tuhan. Surga adalah tempat neneknya, di atas sana, langit. Bita mendongak dan menyapa neneknya. Ketika ia berada di ketinggian, disanalah ia merasa dekat dengan neneknya.
“Bita!! Mereka menyerbu kita!! Ayo terbang!!” Bita tersentak, tak sempat ia mengelak. Ranti mendorongnya, hingga Bita terlempar menghantam pagar pembatas. Bita terjun bebas dengan kain taplak meja yang berkibar-kibar layaknya superhero yang sedang terbang, kenyataannya bukan terbang, namun terjun. Ranti yang mendorongnya sedang mematung, melihat temannya dalam seperkian detik terhempas ke bumi. Bita sempat menatap Ranti, bahkan ia sempat menatap wajah neneknya di langit yang tak sebiru tadi. Langitnya semakin gelap, bumi berputar dahsyat di kepalanya. Perutnya terasa mual, ia mau beranjak untuk muntah. Kalau sampai ia muntah sembarangan pasti nanti ia dimarahi mamah dan dikunci di kamar mandi, ia harus beranjak, sedikit lagi ia muntah.
“Gelap mah, jangan hukum Bita..”  Entah, dengungan suara yang menukik, memekakkan telinganya dan kemudian gelap.

SELESAI

           




                

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara ke Kampung Inggris dari Semarang

Gunungpati Semarang punya Wadas Prongkol

Bapak yang Abu-abu