Kaca helm
Din menerobos hujan, bukan karena ia terburu-buru, melainkan ia memang menyukainya. Bebannya satu persatu diruntuhkan tiap rintikan hujan, yang membatu mampu mencair. Lebih ringan katanya. Din tak mau kemana-mana, motor itu dukemudikan dengan tenang, sama halnya dengan hati yang mulai tenang. Tentu bukan Din jika ia mampu berdiam diri di dalam sebuah ruangan selama lebih dari 1hari. Selama perjalanan, banyak hal yang satu persatu terpapar begitu saja di kaca helmnya. Tak usah khawatir, dia tetap fokus mengemudi. Din terbiasa seperti itu, menampilkan peristiwa di kaca helmnya selama mengemudi. Jika tidak ada peristiwa lampau yang menarik perhatiannya, ia akan membuat peristiwa yang hanya akan terjadi di imajinasinya. Terkadang ia tertawa terbahak2 karena imajinasinya mampu meloncati mobil di depan.
"Brengsek!!" Din mengumpat. Ia teringat pesan masuk dari kakaknya semalam. Kesukaan menanyai kabar orang-orang terkasih membuat kabarnya ikut membaik.
"Bisa-bisanya, kamu menjawab pesanku seperti itu (tumben sms, aku kira kau dilarang menghubungiku oleh bapakmu), Brengsek!! Bapakmu kamu bilang?! Lalu kita beda bapak begitu!! Lalu kita bukan kakak adik kandung begitu!! Oh mungkin kita mantan kakak adik!! Konyol!!" Din mulai mengemudi dengan kasar, kemudian tenang kembali. Ya, ini sudah 2 tahun berlalu rumahnya tak lagi utuh. Ia hampir depresi berat karena hal ini. Lari kesana kemari untuk tidak sekacau itu. Nyatanya ia semakin kacau, bahkan ia sampai membayar dokter psikologi untuk memastikan bahwa ia belum gila. Din hampir saja over dosis obat tidur. Waktu malam adalah momok menakutkan selama ini. Ia hampir tak pernah bisa terlelap sebelum matahari meninggi. Matanya kuyu, tubuhnya kurus. Kamar kosnya menjadi saksi bisu ketika ia mulai kejang dan histeris dalam tangis yang tak bersuara. Kuku dan silet menjadi penghukuman untuk dirinya yang tak bisa berbuat apa2 diantara bapak, kakak, adik, ibunya. Asal kalian tahu, ia begitu membutuhkan pelukan lelaki saat itu dan itu semakin membuat ia terjerumus.
"Brengsek!!" Din mengumpat dengan keras, diiringi petir yang menggelegar. Ia benci mengingat semua itu. Perempuan itu sudah hampir bangkit walaupun disokong oleh alkohol dan nikotin. Itu membuatnya lepas. Jangan tanya tentang lelakinya, lelakinya bukanlah orang yang bisa diharapkan ada. Ia selalu mencoba bertanggung jawab atas pilihannya. Perempuan itu bersumpah ketika lelakinya malam itu berkata "hidup tidak melulu masalah kekasih". Ia bersumpah akan lebih dari itu, lebih dari lelakinya yang lebih sering mengacuhkannya dan akan membuktikan bahwa ia bisa tanpa lelaki. Lelaki manapun. Jauh di hatinya, ia hanya ingin mendapatkan kasih sayang dari sesosok bapak dan kakaknya. Kalian tahu? Din kehilangan sosok seorang lelaki yang mustinya ada di hidupnya. Terkadang ia ingin menuntut itu pada lelakinya namun ia sadar lelakinya hanyalah seorang kekasihnya bukan bapak atau kakaknya atau pahlawannya. Lelakinya yang benar-benar pada wataknya. Din tidak boleh menuntutnya, ia harus bertanggungjawab atas pilihannya. Din tahu ini akan semakin membuatnya mandiri tapi dia akan semakin membatu.
Perempuan itu menarik napasnya dalam-dalam dan berteriaklah ia. Hujan pun mereda, memberi jeda Din untuk terisak seperkian detik. Ada kucing memakai helm di kaca helm Din, ia tertawa.
Komentar