Postingan

Jika boleh jadi pelacur

  Bagaimana jika aku menjadi pelacur? Dengan begitu banyak yang memilihku tanpa basa basi. Tanpa perlu pendekatan menyamakan hobi. Hubungan singkat bersifat transaksional. Tidak ada kenaifan. Tidak perlu menanyai pertanyaan-pertanyaan yang memaksakan keserasian. Hanya satu tujuan yaitu menghabiskan malam bersama. Aku tidak perlu susah payah mempresentasikan latar belakang,hobi,wawasan dan kefasihan dalam mengobrol. Murni mempresentasikan tubuh. Bukankah itu cara sederhana dan cepat dalam menawarkan?menawarkan visual. Tubuhku masih lengkap,jadi aku akan merawat diri sampai pada standart kecantikan negara ini. Kalau tidak tercapai pun, mungkin bisa aku tarif murah. Terpenting tetap bertarif agar tidak dibilang wanita gampangan. Dicap pelacur yang memang berjualan tubuh, bukan karena menjadi simpanan lelaki beristri. Sesudah tubuhku cukup menarik, aku tidak perlu sekolah tinggi,datang forum diskusi,berkarya, atau membaca buku. Aku tidak perlu membuat strategi agar target mau meluangka...

Bapak yang Abu-abu

  Bapak terlihat lebih muda, raut wajahnya seperti saat aku masih duduk di bangku SMP. Kali ini ia memakai baju polo pink yang dimasukkan rapi dalam celana jeansnya. Tatanan rambut yang rapi membuat Bapak terlihat segar. Ia sedang sibuk menata karung rosok di atas sepedanya.    Rumah itu masih berlantaikan tanah, pot-pot bunga bergelantungan. Jendela-jendela panjang yang setiap lebaran aku lap masih menempel erat di tembok keramik berwarna hijau. Ada taman bunga matahari di depannya. Semua ditata Ibu dengan rapi, biasanya Bapak bagian menyiraminya.    Aku melangkah ragu mendekati rumah. Saat itu aku mengenakan dress putih selutut dengan memakai sepatu high heels. Rambut panjangku kuurai, angin segar pedesaan meniup-niup rambutku. Aku sempat menghentikan langkahku, berpikir untuk memutar arah.  "Nduk! " Bapak melihatku. Mataku berkaca-kaca melihat senyumannya. Tubuhku mematung, ia berjalan menghampiriku.  "Sudah pulang nduk? ayo makan! Ib...

Pemilik yang handal

Hai, aku Rosa. Aku seorang wanita bertubuh ringan dengan rambut sepunggung. Lelaki kepunyaanku lebih dari satu. Mereka saling melengkapi untuk menjadi sempurna. Dengan seperti itu aku tidak perlu meninggalkan salah satu untuk mencari yang lebih. Tidak perlu menuntut yang memang mereka tidak punya. Itu melelahkan. Aku meramu mereka. Setiap saat aku bisa mendekap siapapun yang kuiingin, tak peduli mereka juga ingin atau tidak. Mereka kumiliki untuk takluk. Beberapa dari lelaki itu mungkin memiliki wanita,dan apa peduliku! Aku sempurna dalam hal memiliki.Kalian mau apa?  Aku menjarah setiap keputusan otak dan hati mereka. Ketika lelakiku sedang berbicara, aku sibuk melumat bibirnya. Tangan yang sedang berisyarat, kuletakkan di pinggangku. Tubuhnya dapat kusentuh utuh dalam pikiran. Aku tidak pernah menanyakan mereka menyukaiku atau tidak, tidak akan kubiarkan mereka merusak kendaliku. Apa itu penolakan? aku tidak mengenalnya. Aku hidup tanpa tuas masyarakat. Karena itu akan membuatku ...

Merawat Api

 Sudah kubilang dia adalah api, lalu kau berupaya menjadi air? Pantas  saja dia menghilang. Kau sangat tahu itu, lalu di tengah perjalanan kau mencoba menjadi angin. Kau sebut itu hampir berhasil membuat api menari-nari atas kehendakmu. Coba lihat! Hanya sejenak ia menganutmu. Mau jadi apa lagi?mau jadi benteng yang melingkari api? Setiap hari kau hanya menahan padahal kau hampir mampus kepanasan setiap hari. Harapanmu bahkan ragu-ragu, karena kau tahu ini tak kan berdampingan.  Aku akui kau tegas akan menyelesaikan apa yang kamu mulai tapi kau tak perlu takut dikatakan plin plan karena memutuskan berhenti di tengah jalan. Bukankah itu juga bisa disebut penyelesaian?Ah lagi-lagi kau berfikir kalah atau menang. Kau merasa kalah jika rasa yang kau berikan lebih banyak dari rasa yang kau terima. Kau ingin dimiliki seutuhnya, entah dari kapan perihal dimiliki selalu menjadikan kau merengek di setiap menjelang tidur. Mencari lengan yang terus mendekapmu dan membantumu beranjak...

BELAKANG PUNGGUNGMU

    BELAKANG PUNGGUNGMU Aku melihat bagaimana pundaknya naik turun, kepalanya menunduk. Jika pun aku berpindah duduk di depannya belum tentu aku bisa memastikan air matanya jatuh karena ia memakai kacamata dan topi. Aku tetap duduk di bangku belakangnya, sekarang ia menyalakan rokok. Ia menghisapnya dalam lalu menghembuskannya berlahan. Setelah itu menyeruput es kopi yang mulai mencair di sisi kanan tangannnya. Hujan semakin deras, kendaraan lewat dengan lambat, sesekali ia menghadap jalanan. Entah itu sedang melihat atau melamun. Dia duduk tegak mematung, sekitar 30 menit ia seperti itu. Sepertinya dia merasa ada yang menatapnya dari belakang, dia menengok sedikit lalu aku memainkan handphone. Ini tidak akan seperti di film, dimana aku akan menghampirinya dan berupaya menghibur. Apapun yang sedang memberatkan pundaknya, aku harap dia tetap bisa tegar.             Perempuan itu memakai kaos hitam, setelah kulihat-lih...

PERSETUJUAN

  PERSETUJUAN             Saat itu dia terlihat sibuk memilah-milah buku di loakan. Tempat itu hanya disambangi dua orang saja, jadi dia terlihat mencolok dengan topi kuningnya. Beberapa majalah ditumpuk, dia mulai bernego dengan penjual. Hal itu sebenarnya hanya perilaku yang ikut-ikutan kebiasaan pembeli saja, dia buruk dalam tawar menawar harga. Dia sudah senang mendapat potongan harga 2.000 saja. Sebelum majalah-majalah itu dimasukkan ke kantung kresek, dia menghirup bau majalah itu dengan wajah sumringah. Ini kelima kalinya dia membeli majalah di loakan, selama lima kali itu dia tidak pernah membeli di satu toko. “Gendhis! Parkirannya sini!” Dia berbalik arah kemudian meringis malu. Lalu aku berlari menuju parkiran. “Tungguin!” Aku selalu tertawa melihatnya berlari, larinya seperti pinguin. Seperti biasa, sesampainya dia langsung   menempeleng kepalaku. Kami mengendarai motor dengan lambat. Dia memeluk erat pi...

Tanpa Lengan

  TANPA LENGAN Rosa menendang pintuku selarut ini, ia meminta diselimuti. Aku melihat selimut dan jaket berserakan di lantai, kamarnya sungguh kacau. Hampir setiap malam dia menendang-nendang pintuku. Ini sudah kesekian kali aku meminta untuk menggunakan kakinya. Aku rasa dia bisa namun tidak memiliki kemauan.Sudah sebulan kedua lengannya lumpuh. Setiap menjelang sore ia merasa kedinginan. Rosa meringkuk di pojokan tanpa bisa memeluk lutut. Lampu kamar tak sempat ia nyalakan. “Cepat selimuti aku”Pinta Rosa dengan suara tak jelas karena tubuh yang menggigil. “Malam ini di sini saja” Aku mencoba mengatur Rosa walaupun tidak akan diturutinya. “Tidak bisa” “Minumlah obatmu kemudian biarkan otakmu tidur” “Urusilah hidupmu sendiri” “Kalau begitu tidak perlu kau memintaku menyelimutimu” “Terlantarkan saja aku sekalian” Rosa selalu begitu, memiliku sepihak. Sedangkan aku hanya memilikinya dalam pikiran.Pernah sekali aku tidak peduli dengannya. Kukunci kamarku lalu tidak kul...