Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Nona Rosa pulang

      Ibu tentu sangat bahagia ketika anak perempuannya lahir di dunia. Doa-doanya sebagai seorang perempuan sungguh berbeda dengan doa untuk anak lelakinya. Bayi perempuan itu tidak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai anak perempuan satu-satunya, yang jelas dia tidak pernah menginginkan bahwa ia tumbuh menjadi perempuan yang harus berhubungan dengan lelaki agar disebut normal. Siang itu, Ros berjalan ragu menghampiriku. Ya, namanya Rosa. " selesai berobat?" tanyaku. " dokter memintaku untuk menemui Tuhan" " sedang kau keras kepala untuk meminta obat?" "Ya, aku hanya butuh obat" "Dan bertemu Tuhan" Aku sangat membenci Rosa, dia selalu menunda untuk menemui Tuhan . Sudah cukup banyak lelaki yang ia temui untuk menunda keinginannya untuk berbincang dengan Tuhan. Keinginan yang ia rasa adalah sebuah kekalahan atas pilihannya untuk menjadikan hamba yang tidak pantas meminta setelah penghianatan Ros atas tobatnya 4 tahun lalu. Tahu...

BITA

BITA Sore ini Bita menggunakan waktu senggangnya untuk mengelilingi jalanan di dekat rumah dengan menggunakan scooter manual kesayangannya itu. Ia memilih menggunakan scooter kuningnya daripada sepeda kuningnya kemanapun pergi, dari bermain ke rumah teman sekolah, berangkat ke sekolah, pulang sekolah, mengelilingi kebun teh, terjun menuruni jalan depan rumahnya, pergi membeli susu di Pak Jo, namun tidak untuk  pergi menyusul neneknya di langit. Bita sangat menyayangi neneknya, scooter kesayangannya merupakan hadiah dari nenek ketika Bita mau untuk disekolahkan di suatu sekolah formal. Hampir dua tahun Bita hanya belajar otodidak bersama nenek dan mamahnya di desa. Bita tidak pernah mau sekolah semenjak ia ditinggal teman sebangkunya pergi untuk selamanya saat  menginjak sekolah Taman Kanak. Masih sangat jelas Bita mengingat kejadian mengerikan itu. Saat itu teman baiknya sedang fokus menggambar. Bita mengendap-endap dari arah belakang, dengan sigap Bita membungkam mulut d...

Perempuan dengan keresahannya

Percakapan antar perempuan senja tadi masih bergema, dialog-dialognya  menggeser kereta-kereta yang biasa berlalu lalang di kepala. Hening,kemudian terdengarlah dialog-dialog itu. "Mengapa musti ada status berpacaran? Jika masing-masing masih membagi rasanya pada jiwa yang di seberang? Mengapa dua insan yang saling suka tak asal jalan saja,kemudian jika masing-masing suatu waktu rasanya terbagi, mereka merela untuk saling tahu dan kembali jika rasa mereka kembali." "Jika seperti itu, apakah akan ada sebuah makna komitmen?" "Iya, tidak ada. Hanya menikahlah yang bisa disebut komitmen. Aku terlalu lelah untuk berkoar kembali, dan mendapat maaf kembali pada akhirnya" "Jika kau seperti itu, kini aku mulai ketakutan, ketakutan akan menjadi seseorang yang aku benci. Kini aku mulai memperlakukannya seperti masa lalu memperlakukanku dulu. Mengumpat, marah sejadinya kemudian meminta maaf semaaf-maafnya. " "Bukankah semakin kau membenci sesuatu, ...

Bapaknya Ibu Kota dan Tata Bahasanya

      Mungkin yang perlu dibenahi tata bahasa dan pemilihan diksi yang sesuai dengan target pendengar. Intonasi yang disamaratakan oleh pembicara ke pendengar dengan latar suasana yang tidak dipertimbangkan, menimbulkan kesan negatif. Tegas bukan berarti dengan nada tinggi. Seseorang yang telah memilih dirinya sendiri untuk menjadi sorotan media, seharusnya tahu bagaimana memposisikan bahasanya karena bahasa adalah suatu identitas diri. Pendengar tidak sepenuhnya bisa d isalahkan jika mereka mengalami penerimaan makna yang menjurus ke arah negatif karena masing-masing pendengar memiliki sudut pandang berbeda. Pembicara adalah seseorang yang berada di panggung(dilihat), memaparkan argumen,keputusan, kemudian mengklarifikasi jika terdapat kesalahpahaman. Sebuah tata bahasa sangat penting, walaupun pembicara berada di garis benar namun jika ia tidak mampu berbicara dengan baik maka "percuma" . Pembelaan untuk menjadikan cara bicara (nya) menjadi sebuah ciri khas "Bapaknya...

Anak perempuan

Dia hanyalah anak perempuan yang kehilangan sosok seorang lelaki diantara lelaki-lelaki di rumahnya. Anak perempuan yang berlari kesana kemari mencari kasih seseorang lelaki, sesampainya ia selalu mempercayai kata2 setiap lelakinya dan ia habis dimiliki lelakinya yang dulu, sesudahnya, seterusnya dan saat ini. Hampir seperti pelacur yang mencari seseorang lelaki yang sudi menyayanginya. Kemudian ia berjalan di perbatasan benar dan salah atas batas gerak perempuan. Memeluk angin, membekukan kewanitaannya yang pernah ada. Mendongak, sepasang matanya menghujat Tuhan. Ya, dia masih suka percaya Tuhan. Tentu saja, diperbatasannya ia melulu bernegosiasi dengan Tuhannya untuk mendapatkan segala pemakluman untuk hal-hal yang disebut dosa.

Ke-puas-an

   Vier berderap ke pintu utama yang terus digedor-gedor. Entah apa yang dipikirkan orang itu sehingga tak memakai bel pintu, bel pintu pun tak setinggi ukuran tinggi badan orang asing. Ah, ini membuat Vier ingin berteriak dan memaki orang dibalik pintu itu, karena dia, Vier terpaksa keluar dari ruang angkasanya. "Selamat pagi nona!!" Vier tercengang. "Hei! Kau gila ya?!" jam pulang kerja bukanlah waktu yang tepat. "Kau begitu seksi dengan rambutmu yang berantakan ini" Lelaki itu menabrak tubuh Vier dan mendaratkannya di sofa tamu. Vier tak jadi teriak karena ciuman lelaki itu jauh lebih cepat menyergap mulutnya. "Stop!!" Susah payah Vier melepaskan dekapan lelaki itu. "Ayolah, jangan siksa aku nona.." wajah lelaki itu seperti bayi haus asi ibunya. "Kau gila ya?! Nekat datang ke rumahku." "Aku rindu goyanganmu nona, hampir sebulan kau tak datang" "Bukankah kita sudah perjanjian, hanya saling menghubungi ...

Kaca helm

      Din menerobos hujan, bukan karena ia terburu-buru, melainkan ia memang menyukainya. Bebannya satu persatu diruntuhkan tiap rintikan hujan, yang membatu mampu mencair. Lebih ringan katanya. Din tak mau kemana-mana, motor itu dukemudikan dengan tenang, sama halnya dengan hati yang mulai tenang. Tentu bukan Din jika ia mampu berdiam diri di dalam sebuah ruangan selama lebih dari 1hari. Selama perjalanan, banyak hal yang satu persatu terpapar begitu saja di kaca helmnya. Tak usah khawatir, dia tetap fokus mengemudi. Din terbiasa seperti itu, menampilkan peristiwa di kaca helmnya selama mengemudi. Jika tidak ada peristiwa lampau yang menarik perhatiannya, ia akan membuat peristiwa yang hanya akan terjadi di imajinasinya. Terkadang ia tertawa terbahak2 karena imajinasinya mampu meloncati mobil di depan. "Brengsek!!" Din mengumpat. Ia teringat pesan masuk dari kakaknya semalam. Kesukaan menanyai kabar orang-orang terkasih membuat kabarnya ikut membaik. "Bisa-bi...

Depan tv

Bu, aku rindu sekali dengan rumah kita. Rindu saat kita bercanda tawa di depan tv,aku rindu saat kau dan ayah menasihati aku dan kakak diantara kedua adik yang mencoba menngerti pembahasan kita, iya Bu, aku rindu segala yang kita lakukan di depan tv. Aku rindu saat Ibu memarahi kakak ketika kita berebut remot tv. Aku rindu ketika Ibu dan ayah mengajak kakak dan aku membayangkan cita2 ketika kau dan ayah sudah tua. Bu, apakah ibu juga merindukan suasana di depan tv 4tahun lalu? Jujurlah Bu, sesekali saja kau lemah di depanku. Kau tak mungkin benar2 melupakan anak pertamamu kan Bu? Kau pura-pura kan Bu? Agar kau terlihat patuh pada Imammu, agar kau terlihat baik-baik saja. Iya, aku tahu Bu. Kau begitu sakit hati dengan anak pertamamu, tapi aku berani bertaruh kau tak akan benar2 ingin melupakan anak pertamamu. Aku tahu kau hancur Bu. Anak keduamu ini terlebih lagi, luluh lantah. Gemetar menyimpan rindu yang tak mungkin tertebus. Aku mencobanya Bu, selalu mencobanya untuk menyimpan keingi...

Ke-perempuan

Akhirnya dia kembali jatuh. Ia memang bodoh. Ketakutannya terkabul, sekali lagi ia jatuh. Pernah, sudah pernah. Tahu dirinya kembali membuat penghakiman. Tak usah kasihan, dia akan memakimu jika kau memasang wajah seperti itu. Aku mencoba berada diposisinya. Jiwanya dan hatinya telah tanggal. "Hai perempuan.." sapaku. Tak ada jawaban, hanya asap rokok yang berlalu di wajahku. Duduknya bersila, badannya membungkuk, kepalanya menunduk. "Perempuan?" geretunya seraya tersenyum simpul. "Keperempuanku telah lama tiada, jangan memanggilku seperti itu" diteguknya segelas bir Bali Hai. "Pernah ada kembali, pernah kupercayakan lagi dan pernah dijatuhkan lagi, haha!!" dia mulai menertawakan dirinya. Tidak, kurasa dia tidak berlebihan. Ia sangat mensakralkan kata perpisahan untuk gurauan. Itu menjatuhkannya (lelaki). "Pulanglah ke rumah.." bujukku. "Rumah? Rumahku diriku sendiri, aku tidak akan mempercayai rumah untuk memiliki diriku. Ti...